Makalah Rekonsiliasi Pajak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu penerimaan negara yang memegang peranan penting
karena merupakan komponen yang terbesar dan sumber dana dalam negeri
untuk membiayai berbagai keperluan pembangunan nasional. Menurut Dr. N. J
Feldmann, definisi pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan atau
terutang pada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa
adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum (Siti Resmi, 2014).
Trade off adalah situasi dimana seseorang harus membuat keputusan
terhadap dua hal atau lebih, mengorbankan/kehilangan suatu aspek dengan alasan
tertentu untuk memperoleh aspek lain dengan kualitas yang berbeda sebagai
pilihan yang diambil. Ketika laba perusahaan tinggi maka
di sisi akuntansi bersifat menguntungkan, sebab akan menarik minat pemegang
saham potensial. Perusahaan terbuka akan memprioritaskan kepentingan ini. Namun
dari sisi perpajakan bersifat tidak menguntungkan, sebab meningkatkan
beban pajak yang harus dibayar.Trade off ini akan semakin kecil untuk
perusahaan terbuka, karena kepentingan pemegang saham menginginkan laba yang
tinggi sehingga pajak tidak dapat dikecilkan.
Wajib Pajak dengan pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda dalam hal
pembayaran pajak. Wajib Pajak berusaha membayar pajak sekecil mungkin karena
dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Di
lain pihak, pemerintah memerlukan dana sebanyak-banyaknya dari penerimaan pajak
untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Karena adanya perbedaan kepentingan, maka dengan self assesment
system Wajib Pajak cenderung berusaha meminimalisasi jumlah pembayaran
pajak. Upaya untuk meminimalisasi pembayaran pajak ini disebut dengan
perencanaan pajak. Perencanaan pajak yang baik adalah perencanaan yang sesuai
dengan peraturan perpajakan yang berlaku.Untuk memenuhi kewajiban tersebut,
Wajib Pajak harus melakukan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak sesuai
dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Perusahaan harus menyusun
laporan keuangan fiskal untuk kepentingan pembayaran pajak.Tujuan utama dari
laporan keuangan fiskal adalah untuk menghitung penghasilan kena pajak.Secara
umum terdapat beberapa perbedaan antara prinsip akuntansi komersial dengan
prinsip akuntansi pajak, terutama dalam hal pengakuan pendapatan dan beban.
Laporan keuangan komersial yang telah disusun oleh perusahaan dapat diubah
menjadi laporan keuangan fiskal dengan cara melakukan koreksi seperlunya atau
penyesuaian dengan peraturan perpajakan melalui proses rekonsiliasi fiskal
(Iswahyudi, 2005). Sesuai dengan self assessment system yang
dianut oleh Undang-undang Pajak Penghasilan, maka koreksi fiskal harus
dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak.
Untuk memperhitungkan besarnya jumlah pajak yang harus disetor, perusahaan
harus melakukan penyesuaian antara laba komersial (laba berdasarkan perhitungan
akuntansi) dengan laba fiskal (laba berdasarkan peraturan perpajakan) dengan
menambahkan atau mengurangkan, baik perbedaan tetap maupun perbedaan
waktu/temporer.
Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan koreksi fiskal atas laporan
laba rugi komersialmenurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dengan laporan laba
rugi menurut Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud Rekonsiliasi
Fiskal?
2. Apa
saja jenis-jenis koreksi fiskal?
3. Bagaimana teknik Rekonsiliasi Fiskal?
1.3 Tujuan
1. Untuk memberi penjelasan
mengenai Rekonsiliasi Fiskal
3. Untuk menjelaskan teknik
Rekonsiliasi Fiskal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. REKONSILIASI
FISKAL
A.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah suatu
mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan
komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses untuk
mendapatkan angka laba fiskal atau laba kena pajak dengan melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap laba komersial atau laporan laba rugi. Proses
rekonsiliasi fiskal ini umumnya dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbentuk
perusahaan. Rekonsiliasi yang dilakukan akan menghasilan koreksi fiskal yang
akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta Pajak Penghasilan (PPh)
terutang. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos penghasilan
dalam Laporan keuangan Komersial, antara lain :
1. Rekonsiliasi terhadap
penghasilan yang dikenakan PPh Final.
2. Rekonsiliasi terhadap
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
3. Wajib
Pajak mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak boleh menjadi pengurang
penghasilan bruto
4. Wajib
pajak menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan pajak
5. WP
mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan Objek
Pajak serta pendapatan yang dikenakan PPh non Final
Rekonsiliasi fiskal memiliki tujuan
utama yaitu untuk menyajikan informasi sebagai bahan menghitung besarnya
penghasilan kena pajak sesuai dengan self-assessment.
Koreksi fiskal adalah koreksi
perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode,
manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial atau dengan secara
fiskal. Koreksi fiskal dilakukan karena adanya perbedaan antara laba atau rugi
menurut perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal ( berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), maka
sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi
komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Dengan demikian, untuk keperluan
perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup
membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada
waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi
fiskal. Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik terhadap penghasilan maupun
terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto).
B.
Laporan Keuangan
Fiskal
Laporan keuangan
fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan
digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh
Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut
akuntansi (komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan
fiskal disusun berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan.
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai
solusi antara ketentuan akuntansi dan pajak yaitu :
1. Ketentuan pajak
secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan
keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam
melakukan pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan
perpajakan dan menurut praktek pembukuan.
2. Ketentuan
pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari
prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan
pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
3. Ketentuan pajak
merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan keuangan
atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan
pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.
Susunan laporan keuangan fiscal :
1. Input berupa dokumen dasar
2. Dicatat dalam buku harian jurnal
3. Diklasifikasikan dengan
pencatatan posting pada buku besar
4. Untuk
pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti
piutang, hutang dll
5. Akhir periode
akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir
tahun dan catatan penutup.
6. Dari neraca percobaan tersebut dibuat
laporan keuangan komersial
7. Rekonsiliasi
antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan
8. Setelah laporan
keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan keuangan
fiscal.
C.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan
fiscal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah
untuk mengarahkan ekonomi suatu
negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal
adalah dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian atau dengan
perkataan lain, dengan kebijakan fiskal pemerintah berusaha mengarahkan
jalannya perekonomian menuju keadaan yang diinginkannya.
Dengan melalui kebijakan fiskal, antara lain
pemerintah dapatmempengaruhi tingkat pendapatan nasional,
dapat mempengaruhi kesempatan kerja, dapat mempengaruhi tinggirendahnya investasi nasional,
dan dapat mempengaruhi distribusi penghasilan nasional. Dua unsur utama dari fiskaladalah perpajakan dan
pengeluaran publik.
Prinsip Dasar Fiskal
a. Adam Smith
- Keadilan (Equality)
- Kepastian (Certainty)
- Kemudahan (Convenience)
- Efisiensi (Efficiency)
b. Edwin
R.A. Seligman
- Fiskal (Fiscal)
- Administratif
(Administrative)
- Ekonomi (Economic)
- Etika (Ethical)
c. Fritz Neumark
- Kesepadanan pembiayaan
(Revenue productivity)
- Keadilan sosial
(Social justice)
- Pencapaian ekonomi
(Economic goals)
- Kemudahan (Ease
Administration and compliance)
Jenis kebijakan fiscal dilihat dari segi teori :
a. Jenis
kebijakan fiscal pembiayaan fungsional
Merupakan kebijakan fiscal yang mengatur pengeluaran
pemeritah dengan mempertimbangkan segala akibat tidak langsung terhadap
pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.
b. Jenis
kebijakatan stabilisasi anggaran otomatis
Merupakan kebijakan fiscal yang mengatur pengeluaran
pemeritah dengan mempertimbangkan besarnya biaya dan manfaat dari berbagai
program yang bertujuan agar menghemat pengeluaran pemerintah.
c. Jenis
kebijakan pengelolaan anggaran
Merupakan kebijakan yang dilakukan dengan mengatur
pengeluaran pemerintah, perpajakan dan hutang untuk mencapai stabilitas
ekonomi.
Jenis kebijakan fiscal
dilihat dari segi perbandingan jumlah pengeluaran dengan jumlah penerimaan :
a. Kebijakan
Anggaran Seimbang
Kebijakan anggaran yang menyusun laporan
seimbang antara jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran.
b. Kebijakan
Anggaran Surplus
Kebijakan anggaran dengan menyusun
jumlah pengeluaran lebih kecil dibanding jumlah penerimaan.
c. Kebijakan
Anggaran Deficit
Kebijakan anggaran dengan menyusun
jumlah pengeluaran lebih besar dibanding jumlah penerimaan.
d. Kebijakan Anggaran
Dinamis
Kebijakan anggaran yang dilakukan dengan
cara terus menambah jumlah pengeluaran dan jumlah penerimaan sehingga semakin
lama semakin besar jumlah penerimaan dan pengeluaran negara.
D.
Jenis-jenis Koreksi
Fiskal
Jenis koreksi fiskal di sini merupakan
jenis – jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan ketentuan
fiskal (UU Nomor 10 Tahun 1994 dan UU Nomor 17 Tahun 2000). Perbedaan antara standar akuntansi (SAK) dengan peraturan pajak
(Fiskal) disebabkan oleh perbedaan yang sifatnya tetap dan perbedaan yang
sifatnya temporer. Untuk memahami penerapan PSAK 46 langkah pertama adalah
memahami kedua perbedaan tersebut di atas.
Secara umum terdapat dua perbedaan
pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan
perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu:
1. Beda Tetap (Permanen)
Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan
baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan
Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan
tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Dalam
hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :
a) Menurut akuntansi
komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan
merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan
Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
b) Menurut
akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh
telah dikenakan PPh Final, contohnya:
- Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
- Penghasilan
berupa hadiah undian
- Penghasilan
dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
- Penghasilan
dari usaha jasa konstruksi dan
- Penghasilan
dari persewaan tanah dan/atau bangunan
- dan
sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban
koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial
merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang
dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:
a) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan ;
- yang
bukan objek pajak
- yang pengenaan
pajaknya bersifat final
- yang
dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan
b) Penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan
c) Pajak Penghasilan
d) Sanksi administrasi berupa
bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
e) Biaya-biaya lainnya yang
menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan
menyebabkan koreksi negatif atau koreksi positif. Koreksi negatif artinya
penghasilan yang diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus
dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah
dikenakan PPh final, menyebabkan laba kena pajak berkurang yang akhirnya
akan menyebabkan PPh terutang lebih kecil. Sedangkan koreksi atas beda
tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakui oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba
kena pajak bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh
terutang menjadi lebih besar.
2. Beda Waktu (Temporer)
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik
penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan
Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan
akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda
waktu terjadi karena : Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu
tahun.Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai
dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with
revenue.Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui
sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :
a) Perbedaan metode
penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang
diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
b) Perbedaan metode
penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian
persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
c) Penyisihan
piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak
tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan sebagainya
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan
menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan
koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan
menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif
tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan
koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
1) Koreksi Positif
Koreksi positif adalah koreksi fiskal
yang mengakibatkan adanya pengurangan biaya yang telah diakuai dalam laporan
laba rugi secara komersial menjadi semakin kecil apabila dilihat secara fiskal,
atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi
fiskal positif diantaranya:
- Biaya
yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham
- Pembentukan
atau pemupukan dana cadangan
- Pengeluaran
dalam bentuk natura
- Jumlah
yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham
- Sumbangan
atau bantuan
- Pajak
Penghasilan
- Sanksi
administrasi (Pajak)
- Penyusutan/amortisasi
- Dan
lain – lain
2) Koreksi Negatif
Koreksi negatif adalah koreksi fiskal
yang mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba
rugi secara komersial sehingga semakin besar apabila dilihat secara fiskal,
atau yang akan mengakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena
Pajak. Koreksi fiskal negatif diantaranya:
- Penyusutan/amortisasi
- Penghasilan
yang ditangguhkan pengakuannya
- Dan
lain - lain
Penyusutan bisa menimbulkan koreksi
negatif atau positif tergantung hasil perhitungan apa lebih besar atau malah
lebih kecil.Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca
laporan audit akuntan publik atas laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap
perusahaan akan mempunyai pos yang berbeda atas koreksi fiskalnya.
E.
Teknik Rekonsiliasi Fiskal
Penghasilan
Jika suatu penghasilan diakui menurut
akuntansi tetapi tidak diakui
rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan
tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba
menurut akuntansi.
Jika suatu penghasilan tidak diakui
menurut akuntansi tetapi diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut pada penghasilan menurut
akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
Pasal 4 ayat (1) yang berisi : yang
menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
konomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau
imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3) keuntungan karena
likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan
usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4) keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau , kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak pihak
yang bersangkutan; dan
5) keuntungan
karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk
premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama
dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan
pembayaran berkala;
k. keuntungan karena
pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata
uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima
atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto
yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan surplus Bank Indonesia.
Pasal 4 Ayat (2) yang berisi Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak
bersifat final:
a. penghasilan
berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara,dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
d. penghasilan dari
transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
e. penghasilan
tertentu lainnya, yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 4 Ayat (3) yang berisi Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1.
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
b. warisan;
c. harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
d. penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa;
f. dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
- dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
- bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran
yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
l. merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa
lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. bantuan
atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Beban (Biaya)
Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak
diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya menurut
akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
Jika suatu biaya atau pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi
diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi
dilakukan dengan menambahkan sejumlah biaya atau pengeluaran teersebut pada
biaya menurut akuntansi yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.
Pasal
6 Ayat (1) berisi tentang Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk:
a. biaya yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi
dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan
atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A;
c. iuran
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
e. kerugian
selisih kurs mata uang asing;
f. biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya
beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam
laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak
harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan
perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang
menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat
sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i. sumbangan
dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan
dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. sumbangan
fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. sumbangan
dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 9 Ayat 1 berisi tentang besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan:
a. pembagian
laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
b. biaya
yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
c. pembentukan
atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan
anjak piutang;
2. cadangan untuk
usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga
Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali
untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya
penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
yang bersangkutan;
e. penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di
daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah
yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan;
g. harta
yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
h. Pajak
Penghasilan;
i. biaya
yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji
yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Contoh Kasus
Penghitungan Laba Fiskal:
PT. Makin Maju Tbk
yang berdiri 1 Maret 2005 berusaha di bidang pertenunan.
Berikut ini laporan
laba-rugi perusahaan (komersial) yang berakhir per 31 Desember 2014:
Penyelesaian :
Informasi Tambahan dari
Perusahaan:
1. Dalam jumlah gaji
karyawan sebesar Rp 120 juta termasuk juga pengeluaran pribadi direktur utama
sebesar Rp 150.000 sebulan untuk biaya supir dan iuran asuransi kecelakaan dan
kematian karyawan Rp 10.000.000 dan beras yang dibagikan kepada karyawan Rp
2.000.000.
Analisis:
>> Karena Rp 150.000 merupakan pengeluaran pribadi
maka tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan, sehingga
dalam 1 tahun = Rp 150.000 x 12 bulan = Rp1.800.000,-
>> Demikian juga asuransi kecelakaan dan
kematian karyawan yang dibayar oleh karyawan Rp 10.000.000,- juga tidak boleh dikurangkan terhadap
penghasilan bruto perusahaan.
>> Adapun beras yang dibagikan kepada karyawan
sebesar Rp 2.000.000,-termasuk
natura sehingga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan.
Total koreksi
fiskal positif karena mengakibatkan laba kena pajak meningkat
adalah sebesar Rp 13.800.000,-.
2. Hasil stock opname
ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000 dari nilai yang
dilaporkan dalam laporan laba rugi.
Analisis:
>> Stock opname merupakan cara penghitungan
persediaan akhir secara fisik atau secara langsung. Nilai persediaan akhir ini
berpengaruh pada nilai harga pokok penjualan. Jika hasil stock opname ditemukan
nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000 dari nilai yang dilaporkan
dalam laporan laba rugi, maka nilai persediaan akhir tersebut perlu dikoreksi
agar sesuai dengan nilai persediaan akhir sesungguhnya. Akibatnya HPP juga
perlu dikoreksi, dimana jika persediaan akhir naik maka HPP akan turun.
Turunnya HPP ini akan berakibat naiknya laba kotor atau laba kena pajak. Maka
koreksi sebesar Rp 50.000.000,- ini
disebut koreksi fiskal positif.
3. Harga perolehan mesin
adalah Rp 50.000.000 dan disusutkan setahun 20% (metode saldo menurun), mesin
tersebut memiliki masa manfaat 4 tahun.
Analisis:
>> Penyusutan merupakan cara perhitugnan manfaat
ekonomis dinikmati atau terpakai selama satu tahun. Nilai penyusutan ini akan
mempengaruhi nilai ekonomis dari mesin tersebut. Peraturan perpajakan
menetapkan bahwa tarif penyusutan untuk harta tetap yang disusutkan dengan
metode saldo menurun adalah sebesar 50% dari harga perolehannya. Dengan
demikian, wajib pajak dalam melakukan penyusutan harta tetapnya kurang 30%,
sehingga penyusutan mesin ini perlu ditambah atau dikoreksi 30% x Rp 50.000.000
= Rp 15.000.000. Karena
adanya penambahan biaya penyusutan maka akan menjadikan turunnya laba kena
pajak, maka koreksi fiskalnya disebut koreksi fiskal negatif.
4. Gedung dengan harga
perolehan Rp 250.000.000 disusutkan sebesar 10% (metode garis lurus).
Analisis:
>> Peraturan perpajakan mengklasifikasikan
bangunan menjadi bangunan permanen dan bangunan tidak permanen. Besarnya tarif
penyusutan untuk bangunan permanen sebesar 5% dan bangunan tidak permanen
sebesar 10% dari harga perolehan. Karena gedung merupakan bangunan permanen,
maka biaya penyusutan perlu dikoreksi atau diturunkan 5% x Rp 250.000.000
= Rp 12.500.000. Turunnya
biaya penyusutan mengakibatkan naiknya laba kotor atau laba kena pajak. Maka
koreksi ini disebut koreksi fiskal
positif.
5. Tanah disusutkan
2% setahun (metode garis lurus).
Analisis:
>> Tanah, dalam UU Perpajakan tidak boleh
disusutkan, kecuali tanah yang digunakan produksi, misalnya untuk pembuatan
batu bata, genting, gerabah dan sejenisnya. Tidak berlaku jika tanah yang
digunakan untuk memproduksi batu bata, genting dan sejenisnya tersebut dari
hasil membeli. Dengan demikian, penyusutan atas tanah ini harus dikoreksi atau
dikeluarkan dari biaya penyusutan. Akibatnya laba kena pajak akan naik sebesar
penghapusan biaya penyusutan tanah sebesar Rp 2.000.000. Koreksi ini dinamakan koreksi fiskal positif.
6. Piutang ragu-ragu
dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah meninggalkan Indonesia untuk
selamanya tanpa diketahui alamatnya.
Analisis:
>> Metode penghapusan piutang dalam akuntansi
ada 2 yaitu metode tidak langsung (indirect) dan metode langsung (direct).
Metode indirect, penghapusan piutang menggunakan cara taksiran terhadap piutang
yang telah melebihi waktu tagihannya. Semakin lama umur tagihan piutang maka
semakin kecil tingkat tertagihnya. Piutang tersebut dianggap sebagai kerugian
piutang, sehingga cara ini dikenal sebagai metode Cadangan Kerugian Piutang.
Adapun metode direct, penghapusan piutang jika benar-benar tidak dapat tertagih
secara riil, tidak berdasarkan taksiran. UU Perpajakan menggunakan metode
langsung ini untuk menghapuskan piutang tidak tertagih. Pada kasus ini, piutang
ragu-ragu dapat diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak dapat tertagih
secara riil, sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan dapat
diperlakukan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung laba kena pajak.
Dengan demikian tidak terjadi
koreksi fiskal atas hal ini.
7. Cadangan umum
adalah penyisihan laba untuk tujuan umum (merupakan pembentukan cadangan).
Analisis:
>> Segala macam dan jenis pembentukan cadangan
tidak diperkenankan dalam perpajakan, maka cadangan umum ini harus dikoreksi
atau dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan. Karena cadangan umum
sifatnya mengurangi laba kena pajak, maka koreksi ini mengakibatkan laba bertambah
sebesar Rp 20.000.000,
sehingga dinamakan koreksi fiskal
positif.
Informasi yang diperoleh
dari Laporan Laba-Rugi:
1. Sumbangan
korban banjir.
Analisis:
>> Segala macam dan jenis sumbangan tidak
diperkenankan dalam perpajakan kecuali sumbangan yang diatur secara resmi oleh
pemerintah melalui peraturan pemerintah, misalnya sumbangan GNOT, PMI dan
sejenisnya. Sumbangan korban banjir ini tidak dapat dikategorikan dalam jenis
pengurang penghasilan, maka atas koreksi ini mengakibatkan laba kena pajak
bertambah sebesar Rp 100.000,- yang
dinamakan koreksi fiskal positif.
2. Dividen
yang dibayar.
Analisis:
>> Segala macam pembayaran dividen dalam
perpajakan tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung
laba kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi yang mengakibatkan laba kena
pajak naik sebesar Rp 30.000.000,-.
Maka koreksi ini dinamakan koreksi
fiksal positif.
3. PPh Pasal 25
yang dibayar.
Analisis:
>> Segala macam dan jenis pajak penghasilan
serta sanksi perpajakan tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam
menghitung laba kena pajak. Maka adanya koreksi yang mengakibatkan laba kena
pajak bertambah sebesar Rp
4.600.000,- yang dinamakan koreksi fiskal positif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Rekonsiliasi Fiskal, yaitu suatu
mekanisme untuk menyesuaikan laporan keuangan komersial perusahaan menjadi
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
2.
Secara umum terdapat dua perbedaan
pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan
perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu beda
tetap (permanen) dan beda waktu (sementara). Beda waktu dibedakan menjadi
koreksi positif dan negatif.
3.
Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan
dengan cara; Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak
diakui menurut fiskal, maka kurangkan sejumlah penghasilan tersebut
dari penghasilan menurut akuntansi, begitupun sebaliknya, dan Jika suatu
biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai
pengurang penghasilan bruto menurut fiskal rekonsiliasi dilakukan dengan
mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya menurut
akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi, begitupun sebaliknya.
4.
Formulir SPT Tahunan PPh Badan ada dua
jenis; yaitu SPT dengan kode 1771 dan SPT berkode 1771/$. SPT 1771
diperuntukkan untuk WP Badan pada umumnya yang meliputi WP Badan yang berbentuk
hukum : PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/D, koperasi, yayasan dan lain-lain.
3.2 Saran
Dengan adanya Rekonsiliasi Fiskal diharapkan para Wajib Pajak dapat
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.Sedangkan bagi pemerintah diharapakan dapat meningkatkan pengawasan
dalam penyelenggaraan pembayaran pajak.
Komentar
Posting Komentar